Blog ini merupakan media informasi dan komunikasi bagi sahabat, teman serta saudara-saudara saya yang berada nun-jauh disana. Salam buat semua...!



Product ...

Services ...

Other things ...



paricara

majalah-soerat

perempuan maju

lukman choy

lukman_alislam

alislam po

daruttaibin

nahdhatul ulama

gp-ansor

gusdur

gusmus

pb-pmii

ikapmii_ta

pmii_ta

dimensi

peradaban-Islm

wacana-kita

spiritia

aids

aids-indo

vhr

migrant-care

bnp2tki

ilo

unicef

pkpa

bloggerpeduli

yahoo-news

y3pp33

surya

republika

ratu

gadis

okezone

lintasberita

kompas

kompascetak

kapanlagi

kabar indo

j-post

surabaya

detik.com

berita-jatim

antara

Sapa Hari-Harimu Dengan Senyuman



IP

<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Konveksi Lokal Kian Terpinggirkan

Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra konveksi. Terdapat ratusan usaha konveksi rumahan (home industri) yang tersebar di Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru, Boyolangu, Kauman dan sekitarnya. Ratusan bahkan ribuan tenaga kerja menggantungkan harapan hidup dari usaha ini.
Namun, kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Nasib sebagian pengusaha konveksi, terutama yang berskala kecil, semakin lama semakin terpuruk, karena permintaan pasar yang terus menurun. Kondisi ini diperparah dengan permainan para pemodal besar dalam menyediakan bahan seperti kain, benang dan bahan konveksi lainnya.
Fatalnya lagi, sejak dibukanya perdagangan bebas, produk-produk konveksi dari luar daerah maupun luar negeri yang dipasarkan dengan harga murah, cukup leluasa masuk ke Tulungagung. Pengusaha konveksi lokal pun kalah bersaing, lantaran pasar sudah dikuasai produk luar. Akibatnya, mereka makin terpiggirkan dan bahkan sebagian diantaranya terancam gulung tikar.
Seperti yang dialami Hariyanto, pemilik rumah konveksi di Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengaku, usaha konveksi yang digelutinya belum sepenuhnya berjalan maksimal. Selama ini dia hanya sebagai pembantu untuk menjahit orderan orang lain. “Saat ini mesin kita hanya dipakai ketika ada pesanan saja dan itupun kebanyakan merupakan orderan orang lain,”jelasnya.
Hariyanto mengatakan, rata-rata pesanan datang dari sekolah-sekolah, sehingga untuk produksi sendiri harus menunggu musim sekolah tiba dan itupun sifatnya tahunan. “Kita biasanya memproduksi yang sifatnya musiman, seperti saat ajaran tahun baru tiba,”ungkapnya.
Selama ini Hariyanto masih menjalankan produksinya kalau salah satu temannya ada yang dapat order dan menawarinya untuk membantu menyelesaikan orderannya. Itupun bisa didapat kalau temanya mempunyai orderan banyak, namun kalau sedikit biasanya dikerjakan sendiri. “Biasanya kita menjahit ketika ada teman kita mendapatkan order banyak, jadi kita bisa kebagian untuk membantu menyelesaikanya,”lanjutnya.
Sebenarnya dia mempunyai mesin jahit sejumlah 6 unit, namun demikian tidak setiap harinya dapat memproduksi pakaian, karena kendala permodalan. “Maklum mas, walau usaha ini sudah berjalan 2 tahun, namun belum ada modal untuk mengembangkan produksi yang lebih besar,” tutur Hariyanto.
Disamping modal, ia juga menghadapi kendala lain, yakni persaingan pasar yang menuntutnya untuk memberikan produk yang lebih baik. Sementara itu, pasar di lokal Tulungagung tidak memberinya kesempatan untuk bisa mengembangkan hasil produksinya. “Yang pasti persaingan industri sangat ketat, apa lagi harganya, semuanya bersaing,”tambahnya.
Pemerintah Tulungagung pun sepertinya memberikan keleluasaan bagi para pemodal besar, sehingga meminggirkan pengusaha konveksi kecil. Di sisi lain, dengan maraknya produk garment (konveksi) dari luar negeri secara tidak langsung akan mematikan pasar produk konveksi lokal. Hal ini mengakibatkan usaha konveksi lokal menjadi lesu dan terancam gulung tikar. Bila ini terjadi lapangan pekerjaan pun semakin berkurang dan menyisakan banyak pengangguran.



Pemerintah Perlu Ikut Mengontrol
Hal yang sama dirasakan Hana Rianto, selaku pemilik konveksi asal Dusun Patik, Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengeluhkan kalau selama ini konveksi sudah tidak diminati anak-anak muda. “Banyak anak muda sekarang tidak berminat sebagai seorang penjahit,”keluh Hana, sapaan akrabnya sehari-hari.
Padahal, katanya, konveksi telah menjadi jantung perekonomian masyarakat Desa Batangsaren, dikarenakan hampir setiap penjuru masyarakat desa ini mempunyai usaha konveksi. Bahkan konveksi merupakan usaha ekonomi masyarakat Desa Batangsaren yang dilakukan secara turun temurun.
Hana mengakui, usaha kecil berupa konveksi saat ini sudah mulai surut. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya jaminan dari pemerintah mengenai standart patokan harga pasar, utamanya di pasar lokal Tulungagung. Sehingga mengakibatkan banyak para pemodal besar mempermainkan harga bahan utama konveksi. “Biasanya saat permintaan pasar banyak, stok kain di kurangi,”terangnya.
Monopoli harga ini biasa dan rutin terjadi bila saat pesanan konsumen banyak, maka kain di pasaran seakan-akan langka dan pemodal mengatakan kainya sudah habis dan tidak produksi. Alasan itulah yang biasanya dijadikan alibi untuk menaikkan harga kain di pasaran. Akibatnya, harga produksi tidak sesuai dengan harga jual di pasar.
Ia membeberkan, untuk produksi biasanya dia membeli kain dan bahan-bahan produksi lainya secara cash, ini belum termasuk beban biaya tenaga produksi. “Namun biasanya untuk pemesan (konsumen) ngutang duluan,”beber Hana.
Hana menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya persatuan pengusaha konveksi sehingga menjadikan persaingan pasar semakin tidak terkendali. Persaingan antar pengusaha konveksi tidak bisa terbendung lagi dikarenakan belum adanya organisasi yang menaunginya.
Akibatnya, banyak anak muda yang meninggalkan profesi ini, mereka memilih untuk bekerja keluar daerah bahkan ada yang bekerja keluar negeri. Sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga profesional dan memadai. “saat banyak order, kami bingung untuk mencari tenaga profesional, guna membantu menyelesaikan pekerjaan (menjahit) ini,”keluh Hana.
Menurut dia, ada 6 persoalan yang dihadapi pengusaha konveksi skala kecil, yaitu kurang modal, berkurangnya tenaga profesional, belum adanya persatuan antar pengusaha konveksi, tidak tertatanya managenmen, permainan pasar kain oleh pemodal dan semakin banyaknya produk-produk garment yang datang dari luar dan tidak terkontrol.
Selain itu, ancaman besar yang paling menghantui pengusaha konveksi local adalah harga kain yang didatangkan dari luar negeri, ternyata lebih murah dari pada harga kain hasil produk dalam negeri. Menyikapi keadaan ini, seharusnya pemerintah memberikan kontrol terhadap harga pasar kain, khususnya yang didatangkan dari luar negeri, agar tidak merusak harga kain lokal.
Hana menegaskan, kalaupun ada pemodal yang ingin masuk di wilayah Tulungagung harus seizin pemilik produksi kecil setempat. “Seharusnya pemerintah tegas melarang para pemodal besar masuk tanpa seizin pengusaha kecil di sini, kecuali mereka mau bekerja sama dengan kita dalam bentuk kontrak kerja,”tandasnya.
Pemerintahpun perlu memberikan perhatian dalam bentuk jaminan atas kelayakan produksi dalam negeri serta mendukung atas hasil produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya juga memberikan peluang atas hasil produksi warganya, sehingga bisa lebih berkembang, termasuk membantu permodalan dan jaringan pasarnya. Selama ini pemerintah hanya memberi peluang kepada pemilik modal besar saja dan melupakan kondisi industri kecil.


<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Kembangkan Koperasi di Pondok Pesantren


Pondok Pesantren (Ponpes) kini tak lagi melulu berurusan dengan ngaji kitab kuning. Kenyataannya, Ponpes telah terbukti mampu berkembang merambah ke berbagai bidang. Salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi para santri dalam bentuk koperasi.
Tengok saja Koperasi Daruttaibin di Ponpes Daruttaibin Desa Campurdarat Kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Selain ngaji, Ponpes ini juga mengajari santrinya untuk praktek langsung berkoperasi.
Menurut salah satu penggerak Koperasi Daruttaibin, Istiqomah, pada awalnya kegiatan ekonomi ini hanya dilakukan oleh kalangan internal ponpes sendiri, karena hanya menyediakan kebutuhan para santriwan dan santriwati seperti kitab kuning dan kebutuhan pokok lainnya.
Dikatakannya, untuk sementara yang banyak membutuhkan barang-barang koperasi adalah santri perempuan. Sedangkan untuk santri laki-laki biasanya hanya titip bahan atau pesan saja, seperti sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya.
Pada dasarnya keberadaan koperasi di Ponpes ini dimaksudkan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Bagai para santri yang belum memiliki uang untuk mencukupi kebutuhannya, seperti kitab dan lain-lain, mereka bisa pinjam di koperasi. ”Apabila sudah punya uang, pinjaman bisa dilunasi di kemudian hari,”terang Istiqomah.
Kehadiran koperasi di Ponpes Daruttaibin sangat dirasakan manfaatnya oleh para santri. Romdhoni, salah seorang santri, mengaku sangat terbantu dengan adanya koperasi tersebut. ”Koperasi benar-benar membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari santri. Apalagi, santri boleh ngutang dan boleh mengembalikan kapan saja kalau sudah punya uang,”ujar santri yang akrab dipanggil Dhoni ini.
Selain menyediakan kebutuhan proses belajar mengajar, melalui koperasi para santri juga diajarkan untuk belajar membangun ekonomi. Seperti saat koperasi mendapat pesanan jajan atau kue dari masyarakat sekitar, maka para santri perempuan diajari untuk belajar membuat kue.
Para santri pun merasa senang dengan kegiatan tambahan di pondok. Selain belajar ilmu-ilmu agama, para santri juga belajar berbagai ketrampilan hidup. seperti yang di ungkapkan bapak Jazuli ”Para santri senang diajak belajar di luar kegiatan ngaji, seperti bertani, beternak maupun yang lainnya,”tutur bapak Jazuli, salah satu pengasuh Ponpes Daruttaibin.


Libatkan Masyarakat dalam Pengembangan Koperasi
Dalam perkembangannya, kegiatan koperasi di Ponpes ini ternyata dilirik masyarakat sekitar. Bahkan, sebagian diantaranya ikut bergabung. ”Ini sebagai langkah awal untuk membangun perekonomian masyarakat agar lebih bisa berkembang. Sebagai kader pesantren kita harus bisa bersosialisasi dengan masyarakat,”terang Istiqomah menambahi.
Seiring dengan berjalannya waktu, para penggerak Koperasi Daruttaibin menginginkan agar unit usaha koperasi dikembangkan tidak hanya di bidang perdagangan, namun juga simpan pinjam. Dengan modal Rp 6 juta, penggerak koperasi yang dipelopori oleh bapak Kholik mencari anggota, yang diambil dari masyarakat sekitar Ponpes Daruttaibin.
Mengingat langkah ini mempunyai prospek yang sangat besar, maka Koperasi Daruttaibin kemudian dikelola secara lebih serius. Anggotanya kini mencapai anggota 20 orang. Adapun simpanan pokoknya ditentukan sebesar Rp 60 ribu dan simpanan wajibnya sebesar Rp 5 ribu.
Untuk membangun kebersamaan, setiap satu minggu sekali anggota koperasi membuat pertemuan rutin untuk dengan agenda pengajian yang diasuh oleh Pengasuh Ponpes Daruttaibin, KH Moh Damanhuri Risya.
Dalam kesepakatannya, anggota koperasi berhak mengajukan pinjaman, namun dengan jumlah yang ditentukan. Ini karena modal koperasi masih terbatas. Besarnya pinjaman, untuk setiap anggota dibatasi paling besar Rp 600 ribu. ”Sesuai kesepakatan, masing-masing anggota koperasi boleh meminjam maksimal Rp 600 ribu,”terang Istiqomah.
Dijelaskannya, jika nanti ada yang pinjam lebih dari jumlah yang ditentukan, maka di kahawatirkan anggota yang lainnya banyak yang tidak kebagian. Istiqomah menambahkan, modal koperasi masih sedikit. ”Makanya bila yang pinjam lebih dari ketentuan dikawairkan anggota yang lainnya tidak kebagian,”tuturnya.
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Membangun Kemandirian Kelompok Lewat Ternak Kambing
Menjadi kebanggan tersendiri bagi Sujilah, salah satu anggota Kelompok Masyarakat Mandiri (KMM) Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. Ia membuktikan bahwa berkelompok ternyata memberikan manfaat yang luar biasa, yang tidak pernah didapatnya sebelum bergabung dengan KMM Sumber Makmur.
Saat ini Sujilah sudah bisa mempunyai 4 ekor anak kambing yang didapatnya dari hasil perjuangannya mengembangkan potensi anggota KMM Sumber Makmur melalui budi daya ternak kambing. “Alhamdulillah, kambing saya sudah beranak 4 ekor dalam waktu kurang dari 1 tahun,”paparnya dengan nada gembira.
Sujilah merupakan satu dari 25 orang anggota KMM Sumber Makmur yang pada tahun 2008 dan 2009 ini berhasil membudidayakan kambing ternak. Sumber dana pembelian bibit kambing berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Tulungagung Tahun 2008.
Setiap anggota kelompok awalnya cuma mendapat alokasi bibit kambing ternak sebanyak 1 ekor. Setelah dipelihara antara 6 sampai 1 tahun, kini rata-rata kambing-kambing ternak itu sudah berkembang biak dengan baik, bahkan hingga 4 ekor seperti milik Sujilah.
“Saya mendapatkan kambing tersebut dari Kelompok Sumber Makmur terhitung sejak tanggal 2 Agustus 2008. Saya berharap kambing-kambing ini bisa terus berkembang lagi sehingga dapat menjadi modal untuk masa depan yang lebih baik,”ujar Sujilah.

Perawatan Kambing Ternak
Menurut dia, memelihara kambing sebenarnya gampang-gampang susah. Menjadi gampang jika peternak bisa mencari pakan sendiri di sekitar lahan pertanian yang dimiliki. Tetapi bisa susah bila peternak kehabisan pakan, sehingga harus membeli.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peternak dalam perawatan kambing. Diantaranya selalu memperhatikan kebersihan kandang dan kesehatan ternaknya. Setiap 5 hari sekali kondisi kesehatan kambing harus dicek. Kalau di tubuhnya terdapat kutu harus diberi obat. Sujilah biasanya memakai kapur semut untuk membunuh kutu kambing. Disamping itu, agar bersih dan sehat, 15 hari sekali kambing ternak perlu dimandikan.
Untuk pakan ternak, biasanya diberikan 2 kali sehari yakni pagi dan sore. Misalnya jam 07.00 pagi dan jam 17.00 sore dan  setiap harinya diusahakan selalu mendapatkan asupan makanan. Jangan sampai kambing kehabisan makanan atau peternak terlambat memberi makanan.
Di sisi lain, Sujilah juga memberi nutrisi tambahan pada kambing-kambing ternaknya dengan minuman air leri (air perasan beras yang akan dimasak) agar kambing cepat gemuk. Pemberian air leri dilakukan setelah kambing diberi makan. Tidak lupa dalam setiap 2 bulan sekali dikasih jamu untuk menjaga agar ternak tetap enak makan dan sehat.
Semua itu dia lakukan untuk menjaga agar aset kelompok tidak mandek, sekaligus menjaga aset pribadi. ”Kambing ini kan aset saya sekaligus aset kelompok, jadi saya sangat bangga dan senang sekali bisa merawatnya,”ungkap Sujilah.

Membangun Kemandirian
Cerita Sujilah adalah salah satu kisah sukses KMM Sumber Makmur Desa Tugu Kecamatan Sendang dalam upaya membangun kemandirian anggotanya melalui budi daya ternak kambing. Namun, dalam perjalanannya bukan berarti tanpa hambatan. Sebut saja misalnya kambing milik Ibu Timi, Ketua KMM Sumber Makmur yang akhirnya mati sebelum beranak pinak karena terkena penyakit.
Beruntung pada sekitar bulan Maret 2009 lalu kelompok ini mendapatkan alokasi anggaran melalui Program Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan dari Bappeda Tulungagung, sehingga kambing ternak Ibu Timi yang mati dapat diganti dengan bibit kambing ternak baru yang lebih baik.
Bendahara KMM Sumber Makmur, Muktamat, mengatakan, sejauh ini belum ada kendala berarti dalam pengelolaan ternak kambing di kelompoknya. ”Hanya ada 1 kambing yang mati itu punya mbak Timi, akan tetapi sudah diganti dengan yang baru,”jelasnya.
Melalui budi daya ternak kambing ini, tambah Muktamat, setidaknya kelompok dapat membantu dalam menyelesaikan masalah anggotanya, terutama dalam meningkatkan pendapatan keluarga. “Itulah untungnya berkelompok, kalau ada masalah bisa cepat terselesaikan bersama-sama,”ungkapnya.
Sementara itu Sujilah mengaku saat ini merasa bangga karena kelompok sudah dapat mengelola agenda dan keuangannya sendiri. “Kelompok Sumber Makmur sedikit demi sedikit sudah mulai bisa mandiri, sehingga ke depan anggota kelompok bisa mengembangkan sendiri dalam usahanya menciptakan lapangan pekerjaan,”terangnya.
Tak hanya beternak kambing, upaya membangun kemandirian juga dilakukan oleh KMM Sumber Makmur melalui rencana membuat usaha bersama berupa makanan ringan (kue) menyambut Hari Raya Idul Fitri tahun ini. Rencananya, kue ini akan dijual ke pasar. Jika laku, tentu bisa menjadi modal usaha bagi kelompok untuk membentuk koperasi di masa-masa yang akan datang.
Lebih jauh, Muktamat memiliki harapan besar terhadap keberadaan kelompoknya, yakni bisa membantu sebagian masyarakat Kecamatan Sendang, khususnya di Desa Tugu dalam mengentaskan kemiskinan dan membuat lapangan pekerjaan bagi warga. Bahkan, kelompok ini bercita-cita hendak membentuk koperasi. 
“Saat ini KMM Sumber Makmur sudah mempunyai aset kurang lebih Rp 500.000, ini pun belum semuanya ngumpul. Aset itu diperoleh dari hasil kesepakatan kelompok melalui iuran kas kelompok. Menurut kesepakatan, setiap anggota kelompok yang dapat kambing diwajibkan memberikan uang kas kepada kelompok  sebesar Rp 50.000 per bulan. Semoga ini menjadi modal kebangkitan kelompok,”tambah Muktamat.
Iuran kas Rp 50.000 dilakukan sebagai upaya mengikat anggota kelompok. Langkah ini diambil sebagai bentuk kepedulian dan komitmen anggota kelompok untuk bisa terus bertahan dan berkembang. Selain itu juga sebagai antisipasi apabila ada kambing dari salah satu anggota kelompok kena penyakit akan dibantu biaya pengobatannya atau bilamana ada kambing yang mati akan diganti dengan uang kas kelompok.
Petani Sendang Kesulitan Air, PDAM Jadi Sorotan

Mayoritas warga Kecamatan Sendang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Letak geografisnya sangat mendukung karena berada di bawah lereng Pegunungan Wilis yang subur dan potensial untuk lahan pertanian, agrowisata maupun agrobisnis. Namun, keadaan sekarang berbalik menjadi malapetaka bagi para petani, sebab mereka kini kesulitan mencari air untuk mengairi sawahnya.
Hal itu diakui Jasmanto, salah satu petani asal Desa Tugu Kecamatan Sendang. “Saat ini saya hanya pasrah karena amat sulit mendapatkan air bagi sawah saya,”kata Jasmanto yang mengaku memiliki lahan jagung.
Untuk memperoleh giliran air, sebenarnya para petani yang tergabung dalam HIPPA (Himpunan Petani Pengguna Air), dalam 15 hari biasanya dijatah 1 kali pengairan sawah. Tapi kini harus menunggu hingga 3 minggu (21 hari).
“Setiap kali mendapatkan giliran harus rela menunggu 1 hari 1 malam untuk bisa mengairi seluruh lahan pertanian sawah saya.Bahkan harus rela menyisir aliran air agar aman dari penyerobotan air oleh oknum tertentu,”jelas Jasmanto.
Kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya masa tanam dan panen setiap tahunnya. Sebelumnya, dalam 1 tahun bisa panen sebanyak 3 kali, namun saat ini cuma 2 kali panen karena kekurangan air. ”Dulu walau saat musim kemarau tiba, sedikit-sedikit ada air, namun musim ini air benar-benar sulit didapatkan,”tambahnya.
Jasmanto mengakui, sebenarnya wilayah Sendang cukup kaya mata air yang mengalir dari puncak Pegunungan Wilis, hanya saja belakangan ini debit airnya terus berkurang. Akibatnya, pendapatan petani juga berkurang. Padahal, mereka sangat bergantung dengan aliran mata air tersebut.

PDAM Jadi Sorotan
Lebih lanjut dia menyebutkan, menyusutnya debit air Pegunungan Wilis salah satunya diperkirakan karena air di wilayah itu sebagian diambil dan ”diperjualbelikan” oleh PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) setempat.
”Saya contohkan, dalam setiap harinya penampungan air yang berada di Desa Tugu diambil oleh truk pengangkut air minum (PDAM). Dan tak tanggung-tanggung, setiap harinya ada 5 tangki air yang diangkut untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat kota (Tulungagung),”terang Jasmanto.
Kesulitan air yang dialami para petani di Kecamatan Sendang juga dibenarkan oleh Parlan, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Tugu. ”Secara umum masyarakat Sendang mengalami nasib yang sama dengan Pak Jasmanto. Ini jelas tidak sebanding dengan kontribusi sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat Sendang. Masak yang punya mata air malah gak  kebagian air,” tukas Parlan.
Ditambahkannya, pernah suatu ketika seorang warga Desa Dono Kecamatan Sendang menceritakan bahwa hampir setiap hari warga desa tersebut selalu kekurangan air. Penyebabnya, air yang ditampung di tandon air (penampungan) Desa Tugu diambil oleh PDAM. Akibatnya, desa-desa yang terletak di bawah Desa Tugu seperti Desa Dono dan sekitarnya menjadi tidak kebagian air. ”Bila yang terjadi seperti ini maka pemerataan pun tidak ada, sehingga yang rugi adalah masyarakat sendiri,”jelas Parlan.
Sebenarnya derita para petani Sendang sudah terjadi sejak dulu, namun mereka hanya bisa pasrah dan biasanya hanya menjadi pergunjingan di masing-masing individu, sehingga mandek tanpa ada tindak lanjut. ”Pernah suatu ketika saya mendatangi PDAM Cabang Sendang, tapi karena gak ada yang menindak lanjuti ya.. sekarang mandek,”ungkapnya.
Kondisi tersebut tak pelak juga membuat Mungin, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) Desa Tugu mengernyitkan dahi. Dia mengakui, meski air terus diambil oleh PDAM, namun masyarakat Sendang sendiri justru tidak mendapat manfaat dari hasil pengelolaan air PDAM. ”Ini kan gak adil,”cetusnya.
Mungin menambahkan, Sendang sebagai area peternakan sapi perah, sangat bergantung pada air untuk memenuhi kebutuhan air minum sapi perah. Dia meminta pemerintah segera tanggap dan memberikan prioritas pembagian air kepada para petani maupun peternak di Kecamatan Sendang. Mungin juga meminta  agar Sendang tidak disamakan dengan daerah lain, karena kondisinya memang berbeda.
Menurutnya, kesulitan air yang terjadi di kawasan Sendang dapat dilihat dari saluran-saluran irigasi yang kering, air tidak mengalir, sehingga kanal-kanal air pun tidak berfungsi dengan baik. ”Kalau begitu mana bisa untuk irigasi. Mestinya pemerintah memiliki peran bagaimana agar pengelolaan air bisa merata dan tidak merugikan warga. Selain air PAM juga sistem irigasi airnya dibenahi sehingga petani tidak merugi,”ujar Mungin.

Biaya Air Juga Mahal
Masalah air tak hanya menimpa petani, tapi juga sebagian besar warga Sendang yang menjadi pelanggan PDAM. Mereka kini dihadapkan dengan mahalnya harga air yang ditetapkan PDAM, bahkan dari tahun ke tahun cenderung naik. Saat ini harganya mencapai Rp 21.800 per meter kubik. Padahal sebelumnya cuma Rp 12.000, sebelum naik menjadi Rp 16.500. Apalagi, pemakaiannya juga dibatasi. Setiap rumah atau KK (Kepala Keluarga) dijatah hanya 10 meter kubik. Kalau melebihi jatah dikenakan denda.
Kondisi ini, kata Mungin, dinilainya sudah tidak masuk akal. ”Kalau PDAM mengambil air dari wilayah kita, kok dijual lagi kepada kita, dengan beban biaya yang mahal pula,”tukas Mungin sambil bertanya-tanya seakan-akan tidak percaya.
Dia berpendapat, krisis air ini terjadi karena ulah PDAM sendiri yang main sedot tanpa mau repot, padahal masyarakat, petani dan peternak Sendang lah yang akhirnya menjadi korban. Krisis air semakin terasa ketika musim kemarau tiba seperti sekarang ini. ”Situasi ini sungguh tidak adil, saat kita di sini krisis air, PDAM terus menyedot air yang ada di penampungan, kita dapat apa,” ungkap Mungin yang terus bertanya-tanya.
Parlan memaparkan, beban biaya air yang dikenakan PDAM dirasakan sangat mahal bagi masyarakat Sendang yang mayoritas bekerja sebagai petani. Sungguh ironis daerah yang sangat kaya akan kandungan air malah menanggung beban pembiayaan air. ”Kita yang berada di sini mati-matian menghemat air, malah PDAM yang menghabis-habiskan air,”ungkapnya.
Katanya, kalau keadaan ini terus dibiarkan akan menimbulkan penderitaan yang lebih parah bagi warga Sendang. Solusinya, biaya air harus murah atau hentikan pengambilan air dari penampungan.
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Pesantren Daruttaibin Gelar Pelatihan Jurnalistik
Pondok pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibin, Campurdarat melakukan kegiatan alternatif dalam mengisi kegatan pondok Ramadan. Para santri biasanya hanya diajari ngaji kitab kuning dan sorokan alquran. Tetapi, kemarin (23/08) sebanyak 30 santri putra dan putri mengikuti Pelatihan jurnalitik. Pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan kerjabareng Pondok Pesantren Al-Islami Assalafi Daruttaibi dengan Radar Tulungagung dilaksanakan sekitar pukul 10.00 sampai 12.00 wib.
Pelatihan ini diawali dengan sambutan ketua panitia dan dilanjutkan sambutan pengasuh sekaligus membuka kegiatan yang di sampaikan langsung oleh beliau KH. Moh. Damanhuri Risya. setelah acara pembukaan disepenuhnya diserahkan kepada pemateri.
Dalam Pelatihan tersebut, Redaktur Radar Tulungagung Aris Hariyanto memberikan beberapa materi. Diantaranya, menulis berita, tipe-tipe wartawan, dan bagaimana teknik wawancara. Aris menyebutkan, seorang wartawan selain dituntut bisa membuat berita menarik, juga harus menyajikan berita esklusif. Dan untuk bisa mencari berita-berita esklusif, seorang wartawan harus mempunyai jaringan, serta mempunyai ide-ide yang berbeda dengan wartawan lain.
Diklat yang berlangsung dua jam ini, terjadi proses dialog yang cukup gayeng. Begitu, Aris Hariyanto memberikan waktu untuk bertanya, para santri sangat antusias bertanya. Para santri sebagian besar bertanya tentang bagaimana menjadi wartawan yang professional.
Selain itu, mereka juga bertanya bagaimana mendapatkan engel menarik, ketika usai wawancara dari lapangan. “Terkadang, seorang wartawan sudah wawancara banyak, tapi begitu masuk ke kantor, dia kesulitan menulis, bagaimana cara menghindari hal tersebut?,” Tanya salah satu santri.
Mendapat jawaban tersebut, Aris menyatakan, di jawa pos ada rukun iman jawa pos. diantaranya, ketokohan, kedekatan, terkini atau paling gress. “Dan wartawan harus mencari, mana yang menarik,” katanya.
Aris juga menjelaskan, seorang wartawan harus dituntut berani dalam mengungkap sebuah fakta yang terkadang tidak terungkap dalam kenyataan. “Seorang wartawan boleh bersimpatik, tapi jangan sampai terbawa emosi,” katanya.
Aris menambahkan, seorang jurnalis diharapkan independent. Meski terkadang, independent tersebut sangat sulit. “Kita harus melihat situasi dan kondisi, contohnya, ketika Negara kita diserang, maka seorang jurnalis bisa menulis sesuai keinginan Negara,”ujarnya.
Sementara itu, Ketua panitia pelatihan Jurnalistik Pesantren Assalafi Daruttaibin, Ahmad Safi’I menyatakan, latar belakang diadakan diklat jurnalistik ini adalah agar eksistensi para santri semakin eksis. Sebab, tidak jarang para santri dianggap sebelah mata dalam eksistensi di masyarakat. Karena itu dengan kegiatan pelatihan jurnalistik, maka para santri bisa menambah wawasan. Sehingga meningkatkan kapasitas santri dan mengkoordinasikan dengan pihak yang berkepentingan dalam proses pembelajaran. Kedua, santri semakin aktif dan partisipatif dalam pengembangan media jurnalistik di pesantren. “Kami berharap setelah diklat ini mereka bisa mengisi majalah dinding sebagai mengembangkan sarana pesantren,” katanya.
Satu lagi, Buruh Migrant Menjadi Korban Kekejaman Majikan
Kabar duka kembali me­nimpa pahlawan devisa asal Tulungagung. Indri Mul­yati, 28, dilaporkan tewas di Sarqiah, Al-Jubeil, Arab Saudi. Buruh Migrant Permpuan warga Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, itu diduga tewas karena dihajar majikannya bernama Hamat Aedh Al Syamri.
Indri Mulyati, warga Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, Tulungagung, dikabarkan tewas saat di Arab Saudi. Wanita 28 tahun itu meninggal akibat mengalami kekerasan sang majikan.
Kabar kematian Indri Mulyati membuat Suryanto (suaminya) menjadi syok. Saat ditemui di rumahnya di Dusun Salam, Desa Notorejo, Kecamatan Gondang, kondisi pria bertubuh kurus itu memprihatinkan. Dia mengalami tekanan mental (depresi). Ayah dari Rahma Maulida itu juga sakit.
Suryanto mengaku terpukul dengan kabar ke­matian perempuan yang dinikahinya pada 2003 itu. Apalagi, kematian istrinya diduga karena kekerasan yang dilakukan majikan. Punggung perempuan kelahiran Ponggok, Kabupaten Blitar itu dipukul kayu oleh ma­jikan yang be­rada Sarqiah, Al Jubail, Arab Saudi.
“Saya menerima kabar tentang istri saya sekitar pukul 10.00 kemarin. Yakni ditelepon oleh rekan kerja istri saya sesama TKW dari Jawa Barat,” ucap Suryanto dengan nada ter­bata-bata. Suryanto menuturkan, dalam telepon, TKW asal Jawa Barat tersebut memastikan apakah benar memiliki istri bernama Ani yang be­kerja di Sarqiah, Al Jubail, Arab Saudi. “Awalnya saya bilang tidak. Karena dia bilang istri saya bernama Ani bukan Indri Mul­yati. Tapi setelah dia menerangkan bah­wa Ani memiliki suami bernama Suryanto, warga Dusun Salam, Desa Notorejo, lang­sung saya benarkan informasi tersebut”  ucapnya.
Mendapat kabar itu, dirinya langsung le­mas. Apalagi TKW asal Jawa Barat itu mem­beri keterangan bahwa istrinya tewas karena bentrok dengan majikannya bernama Hamat Aedh Al Syamri. Majikan tersebut memu­kulkan kayu ke punggung istrinya.
“Wah saya nggak kuat mikir, istri saya tewas disebabkan hal yang saya kurang tahu. Pasalnya, semua itu berda­sar­kan telepon. Pokoknya saya ha­nya meminta agar istri saya di­pulangkan ke sini baik hidup atau mati,” katanya dengan menun­jukkan foto istrinya.
Suryanto melanjutkan, berda­sarkan informasi yang dia terima, istrinya tewas pada hari Rabu 19 Agustus lalu. Namun, informasi itu baru dia terima pada 24 Agus­tus. “Mendapatkan kabar itu, langsung saya laporkan ke ke­pala desa. Setelah dicek kepala desa, ternyata informasi itu be­nar,” terang Suryanto.
Masih menurut Suryanto, istri­nya berada di Arab Saudi sekitar 3 bulan 20 hari. “Dia berangkat dari Tulungagung ke Arab pada 9 Juli. Bahkan dia minta doa kepada saya agar segera dapat kirim uang,” katanya.
Suryanto menambahkan, sebe­lum diterimanya kabar tersebut dia sempat mendapatkan firasat melalui mimpi. Dalam mimpi, dirinya salat berjamaah dengan istrinya di Mekkah. “Dalam mim­pi saya, tiba-tiba dia menghilang di balik padang pasir,” ujarnya.
Orang tua Suryanto bernama Jarlah, 55, mengata­kan, pihaknya juga sudah koordinasi dengan Agen Jasa Penyedia Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang memberangkatkan Indri Mulyati. Perwakilan PJTKI berada di Desa Pakel, Kecamatan Ngantru.
“Kami sudah melaporkan kepada PJTKI. Katanya semuanya akan ditanggung oleh pihak Arab Saudi. Nantinya juga mendapatkan santunan Rp 1 juta,” kata Jarlah sambil menitihkan air mata. Jarlah mengatakan, dirinya berharap agar pe­me­rintah ikut menyelesaikan masalah ini. “Kami orang desa, nggak ngerti masalah ngurus-ngurus hal itu,” kata Jarlah. Begitu sayang Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertras) Tulungagung belum merespon mengenai hal tersebut. (Tri_RaTu agustus 2009)
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Menggalang Kebersamaan Perjuangan Masyarakat Lewat Pendidikan Anak Usia Dini

Belum lama ini terdapat taman kanak-kanak (TK) dan pendidikan anak usia dini (PAUD) Hidayatut Thullaab yang berada di desa Banjarsari Kecamatan Ngantru Kabupaten Tulungagung. Lembaga pendidikan ini baru di buka pada awal pendidikan ajaran tahun baru ini, pada tanggal 13 juli 2009. “meski masih baru buka, lembaga pendidikan ini mendapat sambutan yang sangat hangat dari masyarakat” jelas amar selaku direktur lembaga pendidikan hidaayatut thullaab ini.

Walaupun masih buka perdana, TK dan PAUD ini sudah mempunyai 25 anak yang mendaftar sebagai siswa dan siswi. “saat ini terdapat 15 anak yang duduk di Taman kanak-kanak dan 10 anak yang mengikuti PAUD” terang amar. Amar menjelaskan dukungan masyarakat sangat besar atas berdirinya lembaga pendidikan ini, “pemdidikan ini didirikan murni dari keinginan masyarakat, yang mana ingin ada lembaga pendidikan yang berada di desa banjarsari ini” jelas amar.

Saat ini didesa banjarsari ada 2 Taman Kanak-Kanak (TK) dari darma wanita semuanya, meski demikian belum ada Paudnya. "kita merasa sangat terimakasih sekali dengan adanya TK dan PAUD, karena didesa ini baru di Hidayatut Thullab ini yang ada PAUD-nya” ungkap Ahmad Tajuddin yang kebetulan dari salah satu wali murid dan selaku salah satu anggota BPD desa banjarsari. Menurutnya “perjuangan ini harus didukung oleh semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah” tambah tajuddin sapaan akrabnya.

Sementara TK dan PAUD ini di kelola oleh tenaga pendidik yang nota benenya adalah pemudi-pemudi dari desa setempat “yang menarik adalah bentuk partisipasi dari masyarakat masih berupa support, kita terkendala dengan donatur, jadi tenaga pendidiknya masih menjadi voulentir” sela amar saat tim berdiskusi dengan salah satu wali murid. Harapan kedepan “kita akan carikan donatur yang lebih banyak untuk mengembangkan lembaga pendidikan ini” tambah amar sambil mengajak canda.

Hal inilah yang menjadikan salah satu dari tenaga pendidik sangat tertarik dan menikmati tantangan baru menjadi tenaga pendidik di TK dan PAUD Hidaayatutthullab. Sebut saja Fitri satu-satunya tenaga pendidik yang berasal dari luar kota, yaitu dari desa Ngronggo Kediri, ia mengaku sangat tertantang untuk terlibat dalam membangun dan mengembangkan TK dan PAUD tersebut. “ya… namanya juga masih babat (mulai berdiri/ ada), jadi semuanya harus menjadi pembelajaran bagi kita semua, dan ini menjadi tantangan baru bagi saya” ujar fitri.

Tak heran jika TK dan paud ini juga di ikuti oleh anak-anak dari perangkat desa maupun stake holder masyarakat, ada juga yang datang dari desa tetangga sebelah. Amar menambahkan “di lembaga pendidikan ini ada juga anak dari aparat desa maupun Stake Holder masyarakat salah satunya adalah anak Kepala Desa Bajarsari, ada juga 1 anak dari desa tetangga yaitu Desa Batokan” terang amar.

Memulai Bersama Masyarakat

Semangat mendirikan TK dan PAUD ini adalah bermula dari kesamaan pandangan masyarakat tentang tidak adanya TK dan PAUD yang berlatar belakangkan pendidikan islam. “bila melihat potensi daerah Ngantru melalui jalur utama Trans Tulungagung-Kediri ini tidak ada lembaga pendidikan islam, maka lembaga pendidikan ini sebagai inisiasi untuk menatap masa depan masyarakat ngantru bersama” jelas Jimmy sebutan sehari-hari yang punya nama lengkap Rokhimi salah satu pengurus KPMD yang juga inisiator berdirinya TK dan PAUD Hidayatutthullaab.

Bermula dari semangat ini kemudian disosialisasikan kepada masyarakat yang kebetulan didesa Banjarsari ada Jama`ah Waqi`ah untuk tempat sosialisasi. Melalui Jama`ah Waqi`ah ini masyarakat di ajak untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan anak-anak dan semua sepakat untuk mendukungnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Amar “semua masyarakat menyatakan siap menyupport baik secara moral maupun material” jelas amar.

Kemudian Amar beserta asosiasi KPMD-nya melakukan interveu kepada seluruh masyarakat yang mempunyai anak. Pada kesempatan lain mengumpulkan Stake Holder masyarakat diajak menggagas bersama untuk mendirikan lembaga pendidikan anak-anak. “setelah semua masyarakat dan wali murid sepakat kemudian kita buat pamflet dan kita sebarkan kepada seluruh masyarakat untuk sosialisasi” jelas amar dengan semangat yang menggebu-gebu.

Hal ini juga diperkuat oleh Jimmy tentang pengelolaan TK dan PAUD ini, menurut dia apapun yang terkait dengan operasional lembaga pendidkan semua atas kesepakatan Wali Murid dan Stake Holder masyarakat “dalam operasional sekolah baik sarana maupun kebutuhan anak-anak semua berdasarkan kesepakatan walimurid dan Stake Holder, setelah melalui musyawaroh bersama-sama” terang Jimmi.

Dia menambahkan “untuk kesepakatan sementara dalam 2 minggu anak di kasih sarapan 2 kali, selebihnya anak-anak dikasih snack, toh ini juga sebagai bentuk kepedulian orang tua terhadap anaknya” tambah Jimmy. Jadi semua aturan yang melingkupi sekolah pasti dimulai dari rembuk baik Wali Murid maupun Stake Holder masyarakat dan kesepakatan bersama.

Belajar Merangkai Cita-Cita Bersama

Dikarenakan belum ada lembaga yang memadai untuk membawahi TK dan PAUD ini maka, asosiasi KPMD sebagai organisasi strategis, untuk menjadi motor penggerak berdirinya lembaga pendidikan Hidaayatutthullaab. Jimmy selaku pengurus KPMD menjelaskan “berdasarkan aturan yang mana sebuah lembaga pendidikan harus ada lembaga yang membawahinya, maka KPMD-lah yang dijadikan motor penggerak didirikanya lembaga pendidikan ini” jelas jimmy.

Untuk sementara masalah ijin pendirian TK dan PAUD Hidaayatutthullab masih dalam proses, namun proses belajar mengajarnya terus berjalan, amar menjelaskan “sekarang kita proses perijinanya ke Dinas Pendidikan tentunya bersama-sama asosiasi KPMD” Amar menambahkan “berenang sambil minum air, jadi proses belajar anak tetap berjalan sambil mengurus ijin pendidikanya” tambah Amar.

Adapun harapan masyarakat akan pendidikan ini adalah untuk mendidik anak-anaknya agar bertambah pengetahuan agamanya sebagai modal untuk menghadapi masa depan di era globalisasi ini. Demikian yang dibeberkan Amar Visi TK dan PAUD Hidaayatutthullaab “mencetak generasi islam yang cerdas, terampil dan berakhlaqulkarimah untuk menyongsong masa depan yang gemilang” beber amar.

Sedangkan misinya adalah “menjalin persatuan dan kesatuan serta kebersamaan antara sekolah dan masyarakat untuk mewujudkan sekolah yang mampu menyiapkan generasi Islam pada masa era globalisasi” jelas Amar sambil membacakan buku visi dan misi lembaga pendidikan TK dan PAUD Hidaayatutthullabnya. PAUD ini juga merupakan terobosan pendidikan bagi masyarakat “pendidikan ini juga merupakan pendidikan kaderisasi alternatif untuk masyarakat” tambah Amar

Oleh sebab itu keberlangsungan lembaga pendidikan ini tidak boleh lepas dari dukungan semua fihak baik masyarakat maupun pemerintah. Dengan harapan besar tempat pendidikan ini nanti juga dijadikan tempat pendidikan masyarakat “harapan nantinya tempat ini akan kita jadikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), sambil menunggu dan memantau anaknya sekolah masyarakat bisa baca-baca buku literatur yang telah disediakan” tambah amar.

Dengan harapan inilah nantinya masyarakat diajak berfikir demi keberlangsungan masa depan anak cucunya, sehingga setiap kali membutuhkan kebijakan baru di sekolah, mereka semua diajak musyawaroh untuk mengembangkan pendidikanya. Jimmy menjelaskan “saat ini yang kita butuhkan adalah pengetahuan tentang cara mendidk anak yang lebih baik dan efisien” terang Jimmy.

Sebagaimana yang diharapkan Jimmi, Amar pun menegaskan bahwa lembaga pendidikan ini masih dalam tahap pembelajaran, jadi masih sangat butuh pengetahuan dari orang lain yang lebih kompeten dalam bidang pendidikan anak-anak “semoga ke depan TK dan PAUD ini bisa mandiri, yang paling mendesak hari ini adalah kita membutuhkan bantuan moril dan pengetahuan dari orang-orang yang sudah mahir” tegas amar.

Berjuang Untuk Memerdekakan Diri Dari Kemiskinan

Walau hidup dalam kekurangan tidak membuat keluarga kameni mengeluh atas nasib yang mereka alami. Hidup dalam kekurangan justru menjadikanya tegar tak pernah mengeluh pantang menyerah pada keadaan ” yang pasti bagaimana menjalani hidup ini dengan apa adanya tanpa bergantung pada orang lain” tegas meni sapaan akrabnya sehari-hari.

Sehari-harinya kameni bekerja sebagai penggali dan pemecah batu didekat rumahnya untuk melayani pesanan kebutuhan bangunan. Ayah 5 anak ini seumur hidupnya harus menggali dan memecah batu untuk menghidupi seluruh keluarganya. Kameni berujar ” walau demikian kalau kita mau berusaha pasti akan tetap bisa makan juga” jelasnya.

Keluarga kameni tinggal di dusun gemblung desa tanggung kecamatan campurdarat tulungagung di sekitar lereng bukit budek. Saat ini ia tinggal bersama anaknya yang masih sekolah masing-masing kelas V SD dan kelas II SMP serta cucunya anak pasangan dari maryanti dan anang widiyanto putri kameni yang saat ini sudah keluarga. Sambil menggendong cucunya ia menceritakan kedua anaknya (anak no 2 dan 3) yang saat ini bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri Malaysia.

Dalam pemberangkatanya ia mengalami kendala biaya sehingga harus rela potong gaji untuk bisa berangkat “dua anak saya yang lain sekarang bekerja ke luar negeri, dan masih 1 tahun, jadi belum bisa kirim uang, maklum.. sistemnya potong gaji, dikarenakan biaya pemberangkatanya mahal jadi ya harus potong gaji” keluh kameni. Kedua anaknya bekerja keluar negeri sebenarnya hanya tamat sekolah tingkat SD “itupun untung bisa berangkat lha wong.. Cuma tamatan SD” tambah kameni.

Sebagaimana yang di ungkapkan kameni, jasemi isterinya menambahkan “sehari-hari kita harus nyicil memecah batu untuk persiapan pesanan yang lain” jelas jasemi. Bekerja sebagai pemecah batu dibutuhkan 1 bulan untuk dapat satu rit ledok (kendaraan diesel) “itupun belum tentu langsung laku, namun kadang menunggu 1 hingga 3 bulan baru bisa laku” tambah jasemi sambil senyum.

Satu rit koral batu pecahan jasemi dan kameni di hargai Rp.180.000, bila dipikir pendapatan itu dalam 1 bulan, maka keluarga kameni hanya bisa di buat untuk makan saja. Belum lagi biaya sekolah anaknya dan biaya kesehatan keluarganya bila terkena sakit. “kalau dipikir-pikir berapapun penghasilanya, kan tergantung manusianya untuk mengelola kebutuhanya sehari-hari” ungkap jasemi.

Selain menjadi penggali dan pemecah batu keluarga kameni juga menjadi buruh petani untuk nilai tambah penghasilanya. Karena kalau hanya mengandalkan pengasilan membelah dan memecah batu tentu tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jasemi menambahkan “kalau waktu musim hujan tiba kita di minta membantu warga sekitar yang punya lahan pertanian untuk menggarap lahan pertanianya, itupun juga musiman, jadi tidak bisa dijadikan jaminan penghasilan” jelas jasemi.

Saat ditanya apakah selama ini keluarganya pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik modal maupun bantuan yang lainya, kameni menjawab “pernah suatu saat kita di beri sembako (beras) 15Kg tapi harus dibagi tiga kepala keluarga, keluarga saya, anak dan menantu saya, terus tetangga sebelah utara rumah saya” jelas kameni sambil menunjukkan arah yang dimaksudkan.

Mengenai bantuan lainya kameni mengaku belum pernah mendapatkan bantuan seperti dana BLT maupun Kartu Jamkesmas. “selama ini saya belum pernah dengar apa itu macam-macam bantuan, karena belum pernah menerimanya” aku kameni. Jasemi menambahkan “katanya disekolah ada bantuan untuk anak dari keluarga yang tidak mampu, namun kenyataanya anak kami sama sekali belum pernah mendapatknya” tambah jasemi.

Hal senada di ungkapkan oleh anang selaku menantu kameni yang sehari-harinya bekerja sebagai perajin batu pesanan orang lain. “keluarga kita memang belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, dan bapak (mertua) sama sekali juga tidak pernah mengeluh atas kondisi keluarganya, hal inilah yang menjadikan saya kagum atas apa yang selama ini bapak ajarkan kepada saya” terang anang menguatkan penjelasan mertuanya.

Makna Kemerdekaan Bagi Masyarakat

Kenyataan seperti yang dialami kameni menggambarkan masih ada beberapa keluarga yang belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadikan hati seorang dokter terketuk hatinya untuk bisa membantu mengentaskan nasib yang di alami keluarga kameni. Sebut saja agus panggilan akrabnya sehari-hari, dia mengungkapkan keherananya saat tahu kameni belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“terus terang saya merasa heran ketika seperti keluarga bapak kameni ini tidak pernah dapat bantuan sama sekali” terang paramedis yang mempunyai nama lengkap agus utomo ini. “terlebih lagi kalau sampai belum pernah dapat dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)” jelas agus sambil menggelengkan kepalanya.

Didesa Tanggung ini dulu pernah ada program plesterisasi dan kambingisasi, namun demikian tidak sampai menyentuh keluarga kameni. “dulu pemerintah kabupaten pernah mengadakan program plesterisasi dan program kambingisasi, namun demikian sampai hari ini rumah kameni masih gedek (anyam-anyaman bambu) dan beralaskan tanah” tambah agus.

Yang menjadi masalah adalah indonesia sudah merdeka selama 64 tahun, namun demikian kontra produktif dengan apa yang dialami keluarga kameni. Keluarganya harus kehilangan hak-haknya sebagai bangsa yang merdeka. Seperti yang diungkapkan mujiono selaku peragkat desa tanggung kecamatan campurdarat ia mengaku “kondisi pak meni ini masih jauh dari angan-angan kemerdekaan yang sesungguhnya” jelas mujiono.

Pasalnya kameni masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak, keluarganya masih kekurangan dalam mencukupi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. “tak layak dikatakan merdeka jika sebagai warga negara belum tercukupi hak dasar manusianya baik sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan” begitulah yang disampaikan mujiono.

Mujiono menambahkan, sebenarnya masih banyak lagi keluarga di desa tanggung yang nasibnya sama seperti yang dialami keluarga kameni. “didesa ini ada sekitar kurang lebih 100 kepala keluarga yang masuk dalam kategori keluarga miskin, namun demikian belum semuanya dapat bantuan seperti yang dialami keluarga kameni” tambah mujiono.

Perlu Tindakan Nyata Pemerintah

Sebuah negara yang telah merdeka selama 64 tahun, seharusnya merdeka dari kemiskinan, namun yang kini terjadi justru sebaliknya. Sejak teks Proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, negara ini terus-menerus dilanda persoalan kemiskinan. Meski beragam program pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran dari tahun ke tahun seakan-akan tak pernah berkurang secara signifikan.

Cita-cita kemerdekaan seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya "memajukan kesejahteraan umum" masih jauh panggang dari api. Meski negeri ini telah bebas dari penjajahan bersenjata, namun penjajahan "non-senjata" masih membelenggu negeri ini. Sumber-sumber perekonomian banyak dieksploitasi oleh para pemodal, baik pemodal dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, negara dirugikan dan rakyat dimiskinkan.

Bila menilik atas apa yang terjadi dalam keluarga kameni, maka kemerdekaan tentu belum sepenuhnya dimiliki oleh kameni sebagaimana yang di ungkapkan mujiono “sebenarnya kemerdekaan yang seperti apa, kalau yang terjadi seperti keluarga kameni” jelas mujiono sambil bertanya-tanya arti kemerdekaan yang sampai hari ini sudah 64 tahun diperingati disetiap tahunya.

Menanggapi atas kondisi kameni sebenarnya pemerintah desa sudah pernah menyinggung pemerintah dan mengajukan bantuan untuk keluarga yang tingkat kesejahteraanya sama atau bahkan lebih menderita daripada keluarga kameni. “sebenarnya pemerintah desa perah mengajukan ke pemerintah kabupaten, namun belum ada tanggapan balik” terang mujiono.

Untuk sementara kameni sudah dilibatkan dalam kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wonoyoso desa tanggung sebagaimana yang diungkapakan agus utomo selaku ketua LMDH setempat “saat ini kameni dilibatkan dalam anggota kelompok desa LMDH, namun demikian lahan disekitar bukit budek sangat tandus jadi masih perlu waktu untuk mengolah lahan untuk menjadi lahan produktif” jelas agus. Agus menambahkan “saat ini kameni juga dijadikan juru kunci pemakaman didesa setempat” tambah agus.

Yang diharapkan adalah bagaimana kemerdekaan ini dimaknai sebagai merdeka dari segala bentuk ketidakadilan tanpa melupakan nasib kaum tertindas. Seharusnya pemerintah memberikan pemberdayaan kepada warganya baik dalam bentuk ekonomi, sosial maupun budaya untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Seagaimana yang di ungkapkan agus “sedapat mungkin keluarga yang tidak mampu mendapatkan pemberdayaan bagi keluarganya” tegas agus.
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
12.000 BM Bermasalah di KBRI Timteng

Saat ini sedikitnya 12.000 Buruh Migrant Indonesia tinggal di beberapa penampungan Kedutaan Besar RI di Timur Tengah. Mereka mengalami masalah gaji tidak dibayar, masa kontrak habis, pemalsuan umur, penganiayaan oleh majikan, sampai kehilangan daya kerja.

Kepala BNP2TKI Mohammad Jumhur Hidayat di Amman, Jordania, Kamis, langsung mengadakan rapat koordinasi peningkatan kerja sama kelembagaan perlindungan Buruh Migrant di Timur Tengah. Rapat selama dua hari itu diikuti pejabat dari perwakilan tetap RI di Abu Dhabi, Damaskus, Doha, Dubai, Amman, Jeddah, Kuwait, Riyadh, dan Sana’a.

Jumhur menyatakan, perlindungan terhadap Buruh Migrant harus dilakukan sejak dini sebelum mereka ditempatkan di luar negeri. ”Buruh Migrant Indonesia harus dibekali dengan kemampuan self protection. Kalau ini beres, perlindungan dari pemerintah hanya bersifat tambahan,” tuturnya. Di Jakarta, Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah mengkritik kelambanan pemerintah memperbaiki MOU pelayanan dan perlindungan Buruh Migrant di Malaysia.

Anis meminta, pemerintah lebih serius memperjuangkan hak Buruh Migrant, antara lain memegang paspor sendiri. Kunci masalah Buruh Migrant di Malaysia adalah struktur biaya yang mencapai 8.000 ringgit (Rp 24 juta). ”Biaya penempatan sebanyak itu merupakan kesepakatan agen dan PPTKIS yang di-endorse pemerintah. Sekarang bagaimana keberanian pemerintah untuk mengurangi biaya yang membuat Buruh Migrant memiliki nilai ekonomi tinggi bagi bisnis,” ujar Anis.

Terapkan moratorium

Pemerintah juga diminta menerapkan moratorium dengan serius sampai Malaysia memenuhi permintaan RI. Anis khawatir, moratorium hanya terjadi di Depnakertrans karena keimigrasian, pengelola bandara, sampai pemda belum satu sikap menghentikan perekrutan Buruh Migrant. Sampai saat ini belum ada pertemuan lagi sejak pertemuan bilateral pertama di kompleks pemerintahan Malaysia di Putra Jaya, Selangor, Senin (6/7).

Pemerintah Malaysia hanya akan membahas empat isu berkait Buruh Migrant, yakni hak libur pembantu rumah tangga sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi, kontrak kerja, dan gaji minimal. Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengisyaratkan akan segera memulai negosiasi. ”Namanya negosiasi, jadi kita bisa memulai mana yang bisa dibahas dulu,” ujar Erman.

Dalam empat bulan terakhir, Malaysia sudah mendeportasi 1.972 WNI lewat Tawau ke Nunukan, Kalimantan Timur. Mereka adakalanya telantar karena tidak mempunyai ongkos kembali ke kampung. Akhirnya, mereka kembali ke Malaysia lewat ”jalur tikus”.

(LAM/ham/FUL/ Kompas)
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Merawat Ingatan Akar Kesejarahan

Perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa terasa cukup melelahkan bagi Ny. Sumarsih, Ny. Tuti Koto, dan Ny. Ruyati Darwin. Namun, rasa lelah itu menguap ketika berhadapan dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah.

Saya merasa ada benang halus yang menghubungkan kami, bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai sesama warga negara yang dilanggar hak-haknya, ujar Ny. Sumarsih. Saya tidak pernah merasa lelah kalau menyangkut soal keadilan, sambung Ny. Tuti Koto.

Ny. Sumarsih (56) adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu Wawan tengah menjalankan tugas kemanusiaannya didalam Kampus Universitas Atma Jaya.

Ny Tuti Koto (71) adalah ibu dari Yani Afri, korban penculikan aktivis tahun 1997. Ny Ruyati Darwin (63) adalah ibu dari Eten Karyana, guru bahasa Inggris yang tak berhasil lolos dari kobaran api saat mencoba menyelamatkan anak-anak di dalam bangunan Toserba Yogya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Merawat ingatan

Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin adalah tiga dari 16 anggota rombongan yang dipimpin Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat selama sepekan sejak 1 Juli.

Selain tiga ibu itu, ikut dalam rombongan itu antara lain Yetty, mewakili keluarga korban Tanjung Priok, 1984; Bejo Untung, mewakili korban tragedi 1965; serta Tanto, pedagang kaki lima, mewakili korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bagi mereka, perjalanan menemui para korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM di beberapa daerah itu adalah perjalanan untuk menjaring harapan dan merawat ingatan.

Sebagai perempuan, mereka menyadari posisinya sebagai korban terdepan dari berbagai peristiwa kekerasan. Sebagai ibu, mereka memiliki pengalaman otentik terkait dengan rasa kehilangan anak-anak mereka dalam suatu peristiwa politik.

Pengalaman khas perempuan mulai dari hamil, melahirkan, merawat, mendidik, dan seluruh cinta yang dicurahkan untuk merawat kehidupan, akan menghubungkannya dengan perempuan lain yang memiliki pengalaman serupa untuk kasus-kasus pelanggaran yang berbeda.

Saya tahu, banyak orang mengalami pelupaan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, ujar Ny Sumarsih. Tetapi itu selalu bisa diatasi. Apalagi pelanggaran terus terjadi menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, lanjutnya.

Dalam perjalanan itu, rombongan berhenti di Batang, Semarang, Pati, Kulon Progo, Porong, Surabaya, Malang, dan Indramayu, menemui kelompok-kelompok petani korban perampasan tanah, kelompok miskin kota, korban penggusuran, korban PHK, korban eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, keluarga korban penghilangan, dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Merebut ruang

Pertemuan dengan para korban pelanggaran HAM di sejumlah daerah itu, menurut Usman Hamid, merupakan tindak lanjut dari Kongres Pejuang HAM yang bertema Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM di Jakarta, 17-20 Maret 2009.

Usman mengingatkan, kekerasan terhadap warga negara cenderung tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM tak terwujud. Korban pelanggaran HAM tetap terpinggirkan.

Forum itu merupakan wujud keprihatinan terhadap komunitas korban yang terus berada di tepi arena politik, ujar Usman. Mereka tak mampu menerobos ruang-ruang politik formal untuk membuka kebenaran versi korban, lanjutnya.

Ruang itu dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan dan menjadikan Pemilu 2009 sebagai resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Namun, pemilu tak menjamin keadilan bagi korban dapat digapai, sementara pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin masif terjadi pada zaman liberalisasi ekonomi ini. Kongres itu menguakkan fakta mengapa kekayaan alam di suatu daerah tidak menyejahterakan rakyat, sebaliknya, justru terjadi pengambilalihan hak kepemilikan tanah warga dan sumber daya komunitas oleh pihak lain.

Upaya menemui para korban di daerah-daerah itu juga dapat dilihat sebagai upaya merebut memori kolektif atas pelanggaran yang telah terjadi untuk menajamkan persepsi terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Namun, keberadaan memori kolektif juga dipertanyakan. Dalam diskusi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, Agung Yudha dari Elsam mempertanyakan apakah memori kolektif tentang pelanggaran masa lalu itu telah terbangun atau hanya merupakan memori kolektif korban.

Kalau benar ada, mengapa upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu selalu menemui jalan buntu, ujarnya.

Usman Hamid mengatakan, pertarungan antara memori melawan amnesia terjadi lebih pada tingkat diskursus publik serta perebutan akses kekuasaan politik. Namun, memori tentang peristiwa itu tak pernah mati dalam diri korban dan keluarganya serta komunitas yang langsung mengalaminya.

Diingatkan, respons negara membuat korban tak pernah menjadi kekuatan penekan yang efektif. Pelanggaran masa lalu banyak dianggap sebagai kasus, bukan lembaran utuh. Korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik juga dibedakan dari korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, padahal semuanya berkait dan berkelindan. Kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat dari berbagai pelanggaran itu, ujarnya.

Usman juga mengingatkan, semua pelanggaran masa lalu memiliki relevansi dengan kekinian dan oleh karena itu membutuhkan taktik perjuangan yang lebih strategis untuk menghadapinya.

Peristiwa 65 terkait dengan kasus tanah, peristiwa Talangsari punya relevansi dengan perebutan sumber daya alam di Aceh, Papua, dan lain-lain. Peristiwa Tanjung Priok terkait dengan sekuritisasi untuk mengamankan agenda-agenda pembangunan, ujarnya.

(MARIA HARTININGSIH Kompas Jumat, 10 Juli 2009 | 09:36 WIB)