Blog ini merupakan media informasi dan komunikasi bagi sahabat, teman serta saudara-saudara saya yang berada nun-jauh disana. Salam buat semua...!



Product ...

Services ...

Other things ...



paricara

majalah-soerat

perempuan maju

lukman choy

lukman_alislam

alislam po

daruttaibin

nahdhatul ulama

gp-ansor

gusdur

gusmus

pb-pmii

ikapmii_ta

pmii_ta

dimensi

peradaban-Islm

wacana-kita

spiritia

aids

aids-indo

vhr

migrant-care

bnp2tki

ilo

unicef

pkpa

bloggerpeduli

yahoo-news

y3pp33

surya

republika

ratu

gadis

okezone

lintasberita

kompas

kompascetak

kapanlagi

kabar indo

j-post

surabaya

detik.com

berita-jatim

antara

Sapa Hari-Harimu Dengan Senyuman



IP

<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Berjuang Untuk Memerdekakan Diri Dari Kemiskinan

Walau hidup dalam kekurangan tidak membuat keluarga kameni mengeluh atas nasib yang mereka alami. Hidup dalam kekurangan justru menjadikanya tegar tak pernah mengeluh pantang menyerah pada keadaan ” yang pasti bagaimana menjalani hidup ini dengan apa adanya tanpa bergantung pada orang lain” tegas meni sapaan akrabnya sehari-hari.

Sehari-harinya kameni bekerja sebagai penggali dan pemecah batu didekat rumahnya untuk melayani pesanan kebutuhan bangunan. Ayah 5 anak ini seumur hidupnya harus menggali dan memecah batu untuk menghidupi seluruh keluarganya. Kameni berujar ” walau demikian kalau kita mau berusaha pasti akan tetap bisa makan juga” jelasnya.

Keluarga kameni tinggal di dusun gemblung desa tanggung kecamatan campurdarat tulungagung di sekitar lereng bukit budek. Saat ini ia tinggal bersama anaknya yang masih sekolah masing-masing kelas V SD dan kelas II SMP serta cucunya anak pasangan dari maryanti dan anang widiyanto putri kameni yang saat ini sudah keluarga. Sambil menggendong cucunya ia menceritakan kedua anaknya (anak no 2 dan 3) yang saat ini bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri Malaysia.

Dalam pemberangkatanya ia mengalami kendala biaya sehingga harus rela potong gaji untuk bisa berangkat “dua anak saya yang lain sekarang bekerja ke luar negeri, dan masih 1 tahun, jadi belum bisa kirim uang, maklum.. sistemnya potong gaji, dikarenakan biaya pemberangkatanya mahal jadi ya harus potong gaji” keluh kameni. Kedua anaknya bekerja keluar negeri sebenarnya hanya tamat sekolah tingkat SD “itupun untung bisa berangkat lha wong.. Cuma tamatan SD” tambah kameni.

Sebagaimana yang di ungkapkan kameni, jasemi isterinya menambahkan “sehari-hari kita harus nyicil memecah batu untuk persiapan pesanan yang lain” jelas jasemi. Bekerja sebagai pemecah batu dibutuhkan 1 bulan untuk dapat satu rit ledok (kendaraan diesel) “itupun belum tentu langsung laku, namun kadang menunggu 1 hingga 3 bulan baru bisa laku” tambah jasemi sambil senyum.

Satu rit koral batu pecahan jasemi dan kameni di hargai Rp.180.000, bila dipikir pendapatan itu dalam 1 bulan, maka keluarga kameni hanya bisa di buat untuk makan saja. Belum lagi biaya sekolah anaknya dan biaya kesehatan keluarganya bila terkena sakit. “kalau dipikir-pikir berapapun penghasilanya, kan tergantung manusianya untuk mengelola kebutuhanya sehari-hari” ungkap jasemi.

Selain menjadi penggali dan pemecah batu keluarga kameni juga menjadi buruh petani untuk nilai tambah penghasilanya. Karena kalau hanya mengandalkan pengasilan membelah dan memecah batu tentu tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jasemi menambahkan “kalau waktu musim hujan tiba kita di minta membantu warga sekitar yang punya lahan pertanian untuk menggarap lahan pertanianya, itupun juga musiman, jadi tidak bisa dijadikan jaminan penghasilan” jelas jasemi.

Saat ditanya apakah selama ini keluarganya pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik modal maupun bantuan yang lainya, kameni menjawab “pernah suatu saat kita di beri sembako (beras) 15Kg tapi harus dibagi tiga kepala keluarga, keluarga saya, anak dan menantu saya, terus tetangga sebelah utara rumah saya” jelas kameni sambil menunjukkan arah yang dimaksudkan.

Mengenai bantuan lainya kameni mengaku belum pernah mendapatkan bantuan seperti dana BLT maupun Kartu Jamkesmas. “selama ini saya belum pernah dengar apa itu macam-macam bantuan, karena belum pernah menerimanya” aku kameni. Jasemi menambahkan “katanya disekolah ada bantuan untuk anak dari keluarga yang tidak mampu, namun kenyataanya anak kami sama sekali belum pernah mendapatknya” tambah jasemi.

Hal senada di ungkapkan oleh anang selaku menantu kameni yang sehari-harinya bekerja sebagai perajin batu pesanan orang lain. “keluarga kita memang belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, dan bapak (mertua) sama sekali juga tidak pernah mengeluh atas kondisi keluarganya, hal inilah yang menjadikan saya kagum atas apa yang selama ini bapak ajarkan kepada saya” terang anang menguatkan penjelasan mertuanya.

Makna Kemerdekaan Bagi Masyarakat

Kenyataan seperti yang dialami kameni menggambarkan masih ada beberapa keluarga yang belum merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Hal inilah yang menjadikan hati seorang dokter terketuk hatinya untuk bisa membantu mengentaskan nasib yang di alami keluarga kameni. Sebut saja agus panggilan akrabnya sehari-hari, dia mengungkapkan keherananya saat tahu kameni belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“terus terang saya merasa heran ketika seperti keluarga bapak kameni ini tidak pernah dapat bantuan sama sekali” terang paramedis yang mempunyai nama lengkap agus utomo ini. “terlebih lagi kalau sampai belum pernah dapat dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)” jelas agus sambil menggelengkan kepalanya.

Didesa Tanggung ini dulu pernah ada program plesterisasi dan kambingisasi, namun demikian tidak sampai menyentuh keluarga kameni. “dulu pemerintah kabupaten pernah mengadakan program plesterisasi dan program kambingisasi, namun demikian sampai hari ini rumah kameni masih gedek (anyam-anyaman bambu) dan beralaskan tanah” tambah agus.

Yang menjadi masalah adalah indonesia sudah merdeka selama 64 tahun, namun demikian kontra produktif dengan apa yang dialami keluarga kameni. Keluarganya harus kehilangan hak-haknya sebagai bangsa yang merdeka. Seperti yang diungkapkan mujiono selaku peragkat desa tanggung kecamatan campurdarat ia mengaku “kondisi pak meni ini masih jauh dari angan-angan kemerdekaan yang sesungguhnya” jelas mujiono.

Pasalnya kameni masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak, keluarganya masih kekurangan dalam mencukupi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. “tak layak dikatakan merdeka jika sebagai warga negara belum tercukupi hak dasar manusianya baik sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan” begitulah yang disampaikan mujiono.

Mujiono menambahkan, sebenarnya masih banyak lagi keluarga di desa tanggung yang nasibnya sama seperti yang dialami keluarga kameni. “didesa ini ada sekitar kurang lebih 100 kepala keluarga yang masuk dalam kategori keluarga miskin, namun demikian belum semuanya dapat bantuan seperti yang dialami keluarga kameni” tambah mujiono.

Perlu Tindakan Nyata Pemerintah

Sebuah negara yang telah merdeka selama 64 tahun, seharusnya merdeka dari kemiskinan, namun yang kini terjadi justru sebaliknya. Sejak teks Proklamasi kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, negara ini terus-menerus dilanda persoalan kemiskinan. Meski beragam program pengentasan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran dari tahun ke tahun seakan-akan tak pernah berkurang secara signifikan.

Cita-cita kemerdekaan seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang salah satunya "memajukan kesejahteraan umum" masih jauh panggang dari api. Meski negeri ini telah bebas dari penjajahan bersenjata, namun penjajahan "non-senjata" masih membelenggu negeri ini. Sumber-sumber perekonomian banyak dieksploitasi oleh para pemodal, baik pemodal dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, negara dirugikan dan rakyat dimiskinkan.

Bila menilik atas apa yang terjadi dalam keluarga kameni, maka kemerdekaan tentu belum sepenuhnya dimiliki oleh kameni sebagaimana yang di ungkapkan mujiono “sebenarnya kemerdekaan yang seperti apa, kalau yang terjadi seperti keluarga kameni” jelas mujiono sambil bertanya-tanya arti kemerdekaan yang sampai hari ini sudah 64 tahun diperingati disetiap tahunya.

Menanggapi atas kondisi kameni sebenarnya pemerintah desa sudah pernah menyinggung pemerintah dan mengajukan bantuan untuk keluarga yang tingkat kesejahteraanya sama atau bahkan lebih menderita daripada keluarga kameni. “sebenarnya pemerintah desa perah mengajukan ke pemerintah kabupaten, namun belum ada tanggapan balik” terang mujiono.

Untuk sementara kameni sudah dilibatkan dalam kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wonoyoso desa tanggung sebagaimana yang diungkapakan agus utomo selaku ketua LMDH setempat “saat ini kameni dilibatkan dalam anggota kelompok desa LMDH, namun demikian lahan disekitar bukit budek sangat tandus jadi masih perlu waktu untuk mengolah lahan untuk menjadi lahan produktif” jelas agus. Agus menambahkan “saat ini kameni juga dijadikan juru kunci pemakaman didesa setempat” tambah agus.

Yang diharapkan adalah bagaimana kemerdekaan ini dimaknai sebagai merdeka dari segala bentuk ketidakadilan tanpa melupakan nasib kaum tertindas. Seharusnya pemerintah memberikan pemberdayaan kepada warganya baik dalam bentuk ekonomi, sosial maupun budaya untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Seagaimana yang di ungkapkan agus “sedapat mungkin keluarga yang tidak mampu mendapatkan pemberdayaan bagi keluarganya” tegas agus.