Blog ini merupakan media informasi dan komunikasi bagi sahabat, teman serta saudara-saudara saya yang berada nun-jauh disana. Salam buat semua...!



Product ...

Services ...

Other things ...



paricara

majalah-soerat

perempuan maju

lukman choy

lukman_alislam

alislam po

daruttaibin

nahdhatul ulama

gp-ansor

gusdur

gusmus

pb-pmii

ikapmii_ta

pmii_ta

dimensi

peradaban-Islm

wacana-kita

spiritia

aids

aids-indo

vhr

migrant-care

bnp2tki

ilo

unicef

pkpa

bloggerpeduli

yahoo-news

y3pp33

surya

republika

ratu

gadis

okezone

lintasberita

kompas

kompascetak

kapanlagi

kabar indo

j-post

surabaya

detik.com

berita-jatim

antara

Sapa Hari-Harimu Dengan Senyuman



IP

<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Konveksi Lokal Kian Terpinggirkan

Kabupaten Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra konveksi. Terdapat ratusan usaha konveksi rumahan (home industri) yang tersebar di Kecamatan Tulungagung, Kedungwaru, Boyolangu, Kauman dan sekitarnya. Ratusan bahkan ribuan tenaga kerja menggantungkan harapan hidup dari usaha ini.
Namun, kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan. Nasib sebagian pengusaha konveksi, terutama yang berskala kecil, semakin lama semakin terpuruk, karena permintaan pasar yang terus menurun. Kondisi ini diperparah dengan permainan para pemodal besar dalam menyediakan bahan seperti kain, benang dan bahan konveksi lainnya.
Fatalnya lagi, sejak dibukanya perdagangan bebas, produk-produk konveksi dari luar daerah maupun luar negeri yang dipasarkan dengan harga murah, cukup leluasa masuk ke Tulungagung. Pengusaha konveksi lokal pun kalah bersaing, lantaran pasar sudah dikuasai produk luar. Akibatnya, mereka makin terpiggirkan dan bahkan sebagian diantaranya terancam gulung tikar.
Seperti yang dialami Hariyanto, pemilik rumah konveksi di Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengaku, usaha konveksi yang digelutinya belum sepenuhnya berjalan maksimal. Selama ini dia hanya sebagai pembantu untuk menjahit orderan orang lain. “Saat ini mesin kita hanya dipakai ketika ada pesanan saja dan itupun kebanyakan merupakan orderan orang lain,”jelasnya.
Hariyanto mengatakan, rata-rata pesanan datang dari sekolah-sekolah, sehingga untuk produksi sendiri harus menunggu musim sekolah tiba dan itupun sifatnya tahunan. “Kita biasanya memproduksi yang sifatnya musiman, seperti saat ajaran tahun baru tiba,”ungkapnya.
Selama ini Hariyanto masih menjalankan produksinya kalau salah satu temannya ada yang dapat order dan menawarinya untuk membantu menyelesaikan orderannya. Itupun bisa didapat kalau temanya mempunyai orderan banyak, namun kalau sedikit biasanya dikerjakan sendiri. “Biasanya kita menjahit ketika ada teman kita mendapatkan order banyak, jadi kita bisa kebagian untuk membantu menyelesaikanya,”lanjutnya.
Sebenarnya dia mempunyai mesin jahit sejumlah 6 unit, namun demikian tidak setiap harinya dapat memproduksi pakaian, karena kendala permodalan. “Maklum mas, walau usaha ini sudah berjalan 2 tahun, namun belum ada modal untuk mengembangkan produksi yang lebih besar,” tutur Hariyanto.
Disamping modal, ia juga menghadapi kendala lain, yakni persaingan pasar yang menuntutnya untuk memberikan produk yang lebih baik. Sementara itu, pasar di lokal Tulungagung tidak memberinya kesempatan untuk bisa mengembangkan hasil produksinya. “Yang pasti persaingan industri sangat ketat, apa lagi harganya, semuanya bersaing,”tambahnya.
Pemerintah Tulungagung pun sepertinya memberikan keleluasaan bagi para pemodal besar, sehingga meminggirkan pengusaha konveksi kecil. Di sisi lain, dengan maraknya produk garment (konveksi) dari luar negeri secara tidak langsung akan mematikan pasar produk konveksi lokal. Hal ini mengakibatkan usaha konveksi lokal menjadi lesu dan terancam gulung tikar. Bila ini terjadi lapangan pekerjaan pun semakin berkurang dan menyisakan banyak pengangguran.



Pemerintah Perlu Ikut Mengontrol
Hal yang sama dirasakan Hana Rianto, selaku pemilik konveksi asal Dusun Patik, Desa Batangsaren Kecamatan Kauman. Dia mengeluhkan kalau selama ini konveksi sudah tidak diminati anak-anak muda. “Banyak anak muda sekarang tidak berminat sebagai seorang penjahit,”keluh Hana, sapaan akrabnya sehari-hari.
Padahal, katanya, konveksi telah menjadi jantung perekonomian masyarakat Desa Batangsaren, dikarenakan hampir setiap penjuru masyarakat desa ini mempunyai usaha konveksi. Bahkan konveksi merupakan usaha ekonomi masyarakat Desa Batangsaren yang dilakukan secara turun temurun.
Hana mengakui, usaha kecil berupa konveksi saat ini sudah mulai surut. Kondisi ini disebabkan karena tidak adanya jaminan dari pemerintah mengenai standart patokan harga pasar, utamanya di pasar lokal Tulungagung. Sehingga mengakibatkan banyak para pemodal besar mempermainkan harga bahan utama konveksi. “Biasanya saat permintaan pasar banyak, stok kain di kurangi,”terangnya.
Monopoli harga ini biasa dan rutin terjadi bila saat pesanan konsumen banyak, maka kain di pasaran seakan-akan langka dan pemodal mengatakan kainya sudah habis dan tidak produksi. Alasan itulah yang biasanya dijadikan alibi untuk menaikkan harga kain di pasaran. Akibatnya, harga produksi tidak sesuai dengan harga jual di pasar.
Ia membeberkan, untuk produksi biasanya dia membeli kain dan bahan-bahan produksi lainya secara cash, ini belum termasuk beban biaya tenaga produksi. “Namun biasanya untuk pemesan (konsumen) ngutang duluan,”beber Hana.
Hana menambahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan belum adanya persatuan pengusaha konveksi sehingga menjadikan persaingan pasar semakin tidak terkendali. Persaingan antar pengusaha konveksi tidak bisa terbendung lagi dikarenakan belum adanya organisasi yang menaunginya.
Akibatnya, banyak anak muda yang meninggalkan profesi ini, mereka memilih untuk bekerja keluar daerah bahkan ada yang bekerja keluar negeri. Sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga profesional dan memadai. “saat banyak order, kami bingung untuk mencari tenaga profesional, guna membantu menyelesaikan pekerjaan (menjahit) ini,”keluh Hana.
Menurut dia, ada 6 persoalan yang dihadapi pengusaha konveksi skala kecil, yaitu kurang modal, berkurangnya tenaga profesional, belum adanya persatuan antar pengusaha konveksi, tidak tertatanya managenmen, permainan pasar kain oleh pemodal dan semakin banyaknya produk-produk garment yang datang dari luar dan tidak terkontrol.
Selain itu, ancaman besar yang paling menghantui pengusaha konveksi local adalah harga kain yang didatangkan dari luar negeri, ternyata lebih murah dari pada harga kain hasil produk dalam negeri. Menyikapi keadaan ini, seharusnya pemerintah memberikan kontrol terhadap harga pasar kain, khususnya yang didatangkan dari luar negeri, agar tidak merusak harga kain lokal.
Hana menegaskan, kalaupun ada pemodal yang ingin masuk di wilayah Tulungagung harus seizin pemilik produksi kecil setempat. “Seharusnya pemerintah tegas melarang para pemodal besar masuk tanpa seizin pengusaha kecil di sini, kecuali mereka mau bekerja sama dengan kita dalam bentuk kontrak kerja,”tandasnya.
Pemerintahpun perlu memberikan perhatian dalam bentuk jaminan atas kelayakan produksi dalam negeri serta mendukung atas hasil produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya juga memberikan peluang atas hasil produksi warganya, sehingga bisa lebih berkembang, termasuk membantu permodalan dan jaringan pasarnya. Selama ini pemerintah hanya memberi peluang kepada pemilik modal besar saja dan melupakan kondisi industri kecil.