Blog ini merupakan media informasi dan komunikasi bagi sahabat, teman serta saudara-saudara saya yang berada nun-jauh disana. Salam buat semua...!



Product ...

Services ...

Other things ...



paricara

majalah-soerat

perempuan maju

lukman choy

lukman_alislam

alislam po

daruttaibin

nahdhatul ulama

gp-ansor

gusdur

gusmus

pb-pmii

ikapmii_ta

pmii_ta

dimensi

peradaban-Islm

wacana-kita

spiritia

aids

aids-indo

vhr

migrant-care

bnp2tki

ilo

unicef

pkpa

bloggerpeduli

yahoo-news

y3pp33

surya

republika

ratu

gadis

okezone

lintasberita

kompas

kompascetak

kapanlagi

kabar indo

j-post

surabaya

detik.com

berita-jatim

antara

Sapa Hari-Harimu Dengan Senyuman



IP

<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
12.000 BM Bermasalah di KBRI Timteng

Saat ini sedikitnya 12.000 Buruh Migrant Indonesia tinggal di beberapa penampungan Kedutaan Besar RI di Timur Tengah. Mereka mengalami masalah gaji tidak dibayar, masa kontrak habis, pemalsuan umur, penganiayaan oleh majikan, sampai kehilangan daya kerja.

Kepala BNP2TKI Mohammad Jumhur Hidayat di Amman, Jordania, Kamis, langsung mengadakan rapat koordinasi peningkatan kerja sama kelembagaan perlindungan Buruh Migrant di Timur Tengah. Rapat selama dua hari itu diikuti pejabat dari perwakilan tetap RI di Abu Dhabi, Damaskus, Doha, Dubai, Amman, Jeddah, Kuwait, Riyadh, dan Sana’a.

Jumhur menyatakan, perlindungan terhadap Buruh Migrant harus dilakukan sejak dini sebelum mereka ditempatkan di luar negeri. ”Buruh Migrant Indonesia harus dibekali dengan kemampuan self protection. Kalau ini beres, perlindungan dari pemerintah hanya bersifat tambahan,” tuturnya. Di Jakarta, Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah mengkritik kelambanan pemerintah memperbaiki MOU pelayanan dan perlindungan Buruh Migrant di Malaysia.

Anis meminta, pemerintah lebih serius memperjuangkan hak Buruh Migrant, antara lain memegang paspor sendiri. Kunci masalah Buruh Migrant di Malaysia adalah struktur biaya yang mencapai 8.000 ringgit (Rp 24 juta). ”Biaya penempatan sebanyak itu merupakan kesepakatan agen dan PPTKIS yang di-endorse pemerintah. Sekarang bagaimana keberanian pemerintah untuk mengurangi biaya yang membuat Buruh Migrant memiliki nilai ekonomi tinggi bagi bisnis,” ujar Anis.

Terapkan moratorium

Pemerintah juga diminta menerapkan moratorium dengan serius sampai Malaysia memenuhi permintaan RI. Anis khawatir, moratorium hanya terjadi di Depnakertrans karena keimigrasian, pengelola bandara, sampai pemda belum satu sikap menghentikan perekrutan Buruh Migrant. Sampai saat ini belum ada pertemuan lagi sejak pertemuan bilateral pertama di kompleks pemerintahan Malaysia di Putra Jaya, Selangor, Senin (6/7).

Pemerintah Malaysia hanya akan membahas empat isu berkait Buruh Migrant, yakni hak libur pembantu rumah tangga sehari dalam seminggu, perlindungan asuransi, kontrak kerja, dan gaji minimal. Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno mengisyaratkan akan segera memulai negosiasi. ”Namanya negosiasi, jadi kita bisa memulai mana yang bisa dibahas dulu,” ujar Erman.

Dalam empat bulan terakhir, Malaysia sudah mendeportasi 1.972 WNI lewat Tawau ke Nunukan, Kalimantan Timur. Mereka adakalanya telantar karena tidak mempunyai ongkos kembali ke kampung. Akhirnya, mereka kembali ke Malaysia lewat ”jalur tikus”.

(LAM/ham/FUL/ Kompas)
<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Merawat Ingatan Akar Kesejarahan

Perjalanan ke beberapa wilayah di Jawa terasa cukup melelahkan bagi Ny. Sumarsih, Ny. Tuti Koto, dan Ny. Ruyati Darwin. Namun, rasa lelah itu menguap ketika berhadapan dengan para korban pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah.

Saya merasa ada benang halus yang menghubungkan kami, bukan hanya sebagai korban, tetapi terutama sebagai sesama warga negara yang dilanggar hak-haknya, ujar Ny. Sumarsih. Saya tidak pernah merasa lelah kalau menyangkut soal keadilan, sambung Ny. Tuti Koto.

Ny. Sumarsih (56) adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu Wawan tengah menjalankan tugas kemanusiaannya didalam Kampus Universitas Atma Jaya.

Ny Tuti Koto (71) adalah ibu dari Yani Afri, korban penculikan aktivis tahun 1997. Ny Ruyati Darwin (63) adalah ibu dari Eten Karyana, guru bahasa Inggris yang tak berhasil lolos dari kobaran api saat mencoba menyelamatkan anak-anak di dalam bangunan Toserba Yogya di bilangan Klender, Jakarta Timur, dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.

Merawat ingatan

Ny Sumarsih, Ny Tuti Koto, dan Ny Ruyati Darwin adalah tiga dari 16 anggota rombongan yang dipimpin Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melakukan perjalanan ke beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat selama sepekan sejak 1 Juli.

Selain tiga ibu itu, ikut dalam rombongan itu antara lain Yetty, mewakili keluarga korban Tanjung Priok, 1984; Bejo Untung, mewakili korban tragedi 1965; serta Tanto, pedagang kaki lima, mewakili korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bagi mereka, perjalanan menemui para korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM di beberapa daerah itu adalah perjalanan untuk menjaring harapan dan merawat ingatan.

Sebagai perempuan, mereka menyadari posisinya sebagai korban terdepan dari berbagai peristiwa kekerasan. Sebagai ibu, mereka memiliki pengalaman otentik terkait dengan rasa kehilangan anak-anak mereka dalam suatu peristiwa politik.

Pengalaman khas perempuan mulai dari hamil, melahirkan, merawat, mendidik, dan seluruh cinta yang dicurahkan untuk merawat kehidupan, akan menghubungkannya dengan perempuan lain yang memiliki pengalaman serupa untuk kasus-kasus pelanggaran yang berbeda.

Saya tahu, banyak orang mengalami pelupaan terhadap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, ujar Ny Sumarsih. Tetapi itu selalu bisa diatasi. Apalagi pelanggaran terus terjadi menyangkut hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, lanjutnya.

Dalam perjalanan itu, rombongan berhenti di Batang, Semarang, Pati, Kulon Progo, Porong, Surabaya, Malang, dan Indramayu, menemui kelompok-kelompok petani korban perampasan tanah, kelompok miskin kota, korban penggusuran, korban PHK, korban eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, keluarga korban penghilangan, dan keluarga pelanggaran HAM masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Merebut ruang

Pertemuan dengan para korban pelanggaran HAM di sejumlah daerah itu, menurut Usman Hamid, merupakan tindak lanjut dari Kongres Pejuang HAM yang bertema Merebut Ruang Politik bagi Pemajuan HAM di Jakarta, 17-20 Maret 2009.

Usman mengingatkan, kekerasan terhadap warga negara cenderung tak pernah berhenti. Pemenuhan kewajiban negara dalam hal pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM tak terwujud. Korban pelanggaran HAM tetap terpinggirkan.

Forum itu merupakan wujud keprihatinan terhadap komunitas korban yang terus berada di tepi arena politik, ujar Usman. Mereka tak mampu menerobos ruang-ruang politik formal untuk membuka kebenaran versi korban, lanjutnya.

Ruang itu dimaksudkan untuk menggali persepsi perubahan dan menjadikan Pemilu 2009 sebagai resolusi untuk memperbaiki keadaan yang selama ini masih mendiskriminasikan hak-hak korban pelanggaran HAM.

Namun, pemilu tak menjamin keadilan bagi korban dapat digapai, sementara pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya semakin masif terjadi pada zaman liberalisasi ekonomi ini. Kongres itu menguakkan fakta mengapa kekayaan alam di suatu daerah tidak menyejahterakan rakyat, sebaliknya, justru terjadi pengambilalihan hak kepemilikan tanah warga dan sumber daya komunitas oleh pihak lain.

Upaya menemui para korban di daerah-daerah itu juga dapat dilihat sebagai upaya merebut memori kolektif atas pelanggaran yang telah terjadi untuk menajamkan persepsi terhadap pelanggaran yang terus terjadi.

Namun, keberadaan memori kolektif juga dipertanyakan. Dalam diskusi di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) beberapa waktu lalu, Agung Yudha dari Elsam mempertanyakan apakah memori kolektif tentang pelanggaran masa lalu itu telah terbangun atau hanya merupakan memori kolektif korban.

Kalau benar ada, mengapa upaya menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu selalu menemui jalan buntu, ujarnya.

Usman Hamid mengatakan, pertarungan antara memori melawan amnesia terjadi lebih pada tingkat diskursus publik serta perebutan akses kekuasaan politik. Namun, memori tentang peristiwa itu tak pernah mati dalam diri korban dan keluarganya serta komunitas yang langsung mengalaminya.

Diingatkan, respons negara membuat korban tak pernah menjadi kekuatan penekan yang efektif. Pelanggaran masa lalu banyak dianggap sebagai kasus, bukan lembaran utuh. Korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik juga dibedakan dari korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, padahal semuanya berkait dan berkelindan. Kemiskinan adalah sebab sekaligus akibat dari berbagai pelanggaran itu, ujarnya.

Usman juga mengingatkan, semua pelanggaran masa lalu memiliki relevansi dengan kekinian dan oleh karena itu membutuhkan taktik perjuangan yang lebih strategis untuk menghadapinya.

Peristiwa 65 terkait dengan kasus tanah, peristiwa Talangsari punya relevansi dengan perebutan sumber daya alam di Aceh, Papua, dan lain-lain. Peristiwa Tanjung Priok terkait dengan sekuritisasi untuk mengamankan agenda-agenda pembangunan, ujarnya.

(MARIA HARTININGSIH Kompas Jumat, 10 Juli 2009 | 09:36 WIB)


<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
Melestarikan Bakul Tradisional

Peralatan dapur berbahan baku plastik, termasuk bakul (tempat nasi, orang Jawa menyebutnya wakul atau tompo) telah menjamur di pasaran dan dipergunakan oleh mayoritas warga di Indonesia. Namun, di balik maraknya bakul-bakul plastik, masih ada sebagian warga yang tetap bertahan menggunakan bakul tradisional berbahan baku bambu.

Jika anda menjumpai bakul di Pasar Dono Kecamatan Sendang dan sekitarnya, salah satunya merupakan hasil rajutan Binatin, pengrajin bakul bambu yang juga anggota Kelompok Masyarakat Mandiri “Sumber Makmur” Desa Tugu Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung.

Model bakul buatan Binatin sebetulnya cukup mungil, karena hanya berdiameter 10 cm – 15 cm. Tapi kualitasnya tidak bisa diragukan lagi. Selain kokoh lantaran rajutan bambunya sangat rapat, bahan baku yang digunakan merupakan bambu pilihan, sehingga lebih awet dan tahan lama, bahkan sampai 2-3 tahun. Juga tidak mudah rapuh, ulet dan lebih lentur.

Tidak mengherankan jika bakul produksi Binatin laku keras di pasaran.Malahan ia kerap kewalahan melayani permintaan, baik dari pedagang maupun pesanan perorangan.Setiap minggu, Binatin mampu memproduksi bakul tidak kurang dari 30 – 50 unit.Harga yang dipatokpun relatif murah, yakni cuma Rp 1.500 – Rp 2.000 per unit.Walhasil tidak sampai menguras kantong.

Bagi masyarakat yang tertarik, bisa membelinya di Pasar Dono atau jika butuh jumlah banyak dapat datang langsung ke rumah produksi Binatin di Desa Tugu Kecamatan Sendang. Sekitar 15 km arah barat kota Tulungagung.Binatin ia mengakui jika saat ini jumlah produksinya masih sangat terbatas, karena kekurangan tenaga ahli. Yang ironis, banyak warga kini sudah meninggalkan karya-karya tradisional seperti bakul bambu. Mereka lebih memilih bakul terbuat dari plastik yang dianggap lebih praktis. Makanya, ia berharap ada warga Desa Tugu dan sekitarnya yang ikut melestarikan produksi bakul bambu.

<$Setiap Orang Berhak Menentukan Nasibnya Sendiri$>
173 Kasus TKI, Hanya 9 Majikan Diadili

Kasus penyiksaan Siti Hajar belumlah tuntas. Kini muncul lagi kasus serupa menimpa Buruh Migrant Indonesia asal Kupang, Modesta Rangga Kaka. Data menyebut, sejak 2005, terdapat sekitar 173 kasus kekerasan terhadap para pembantu rumah tangga Indonesia di Malaysia. Namun, ternyata hanya 9 majikan yang kasusnya diajukan ke pengadilan.

The Star melansir data kekerasan yang terjadi pada Buruh Migrant Indonesia. Pada 2005, sedikitnya ada 39 kasus yang terungkap, 45 kasus di 2006, 39 di 2007 dan 42 di 2008. Dan untuk 2009, sedikitnya sudah 9 korban yang terungkap, termasuk Modesta.

Direktur Asisten Kepala Divisi Kekerasan Seksual dan Anak Polisi Diraja Malaysia ACP Suguram Bibi Munshi Deen mengatakan, 65 persen dari kasus tersebut merupakan kasus kekerasan seksual terhadap pembantu berumur antara 25 hingga 35 tahun. Sedangkan kekerasan fisik, banyak kasus dilakukan oleh majikan perempuan, anak-anak mereka atau bahkan agen Buruh Migrant sendiri. Kami mempelajari setiap kasus, jika ini kriminal, kami akan memastikan menginformasikan ke kedutaan, menyelamatkan dan membawa mereka ke penampungan, kata Bibi.

SBY Harus Kirim Nota Protes

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta mengirim nota protes kepada Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Razak terkait banyaknya tenaga kerja Indonesia yang disiksa dinegeri jiran itu.

Penghentian Buruh Migrant Indonesia sementara dinilai tidak efektif. SBY kalau mau teken surat protes dilayangkan ke PM Malaysia, mengapa kekerasan tidak pernah berhenti? kata Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah dalam perbincangan dengan detikcom, Minggu (28/6). Menakertrans Erman Suparno telah menyatakan menghentikan sementara pengiriman Buruh Migrant ke Malaysia terkait banyaknya kasus penganiayaan Buruh Migrant Indonesia. Langkah ini dinilai Migrant Care tidak efektif dan hanya merupakan jargon pemerintah saja.

Faktanya meski Menakertrans telah menyatakan menyetop pengiriman Buruh Migrant, di sejumlah daerah Pemda tetap mengirim Buruh Migrant ke Malaysia. Pemda belum mendapatkan tembusan surat penghentian Buruh Migrant ke Malaysia. Pengawasan atas pengiriman Buruh Migrant masih sangat lemah. Penghentian pengiriman Buruh Migrant tidak serius. Hanya dihentikan sampai 15 Juli itu kan kayak liburan anak sekolah saja, kritik Anis. Seharusnya kalau serius, menghentikan pengiriman Buruh Migrant paling tidak dalam waktu 6 bulan sampai ada MoU kesepakatan dengan Malaysia yang baru.